SEJARAH SINTANG

Pada masa pemerintahan Belanda (sekitar 1936), Sintang merupakan daerah lanschop di bawah Gouvernement, terbagi menjadi 4 onderafdeling: Sintang, Melawi (Nanga Pinoh), Semitau, dan Boven Kapuas (Putussibau). Kerajaan Sintang menjadi swapraja, sementara Tanah Pinoh menjadi neo swapraja. Pemerintahan Belanda berakhir tahun 1942 saat Jepang mengambil alih, lalu diganti sebutan wilayah sesuai bahasa Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, Afdeling Sintang berubah menjadi Kabupaten Sintang. Lokasi awal Kerajaan Sintang berada di Desa Tebelian Nanga Sepauk. Bukti sejarah seperti Batu Lingga dan Makam Aji Melayu ditemukan di sekitar wilayah ini.

Nama Sintang mulai dikenal sejak abad ke-13 ketika Demong Irawan memindahkan pusat kerajaan ke Senentang (sekarang Sintang). Kerajaan berubah menjadi kesultanan Islam di bawah Sultan Nata Muhammad Syamsudin Sa’adul Khairi Waddin, yang menetapkan undang-undang, membangun masjid dan istana.

Hubungan resmi dengan Belanda dimulai 1822 melalui misi Mr. J.H. Tobias. Setelah Sultan Pangeran Ratu Adi Nuh wafat, Belanda membuat perjanjian dagang dengan Sultan Muhammad Djamaluddin. Sejak itu Belanda mulai mengontrol Sintang.

Meskipun terjadi penolakan dan perlawanan lokal, Sintang akhirnya berada di bawah pengaruh Belanda. Benteng Belanda yang dibangun di Sintang terbengkalai dan akhirnya dibakar tahun 1830. Karena perang besar di Jawa, Belanda menghentikan investasinya di Borneo dan Sintang bebas selama sekitar 30 tahun.

Kesultanan Sintang tetap eksis hingga 1966, lalu resmi menjadi Daerah Tingkat II (Kabupaten Sintang). Salah satu sumbangan terbesar Kesultanan Sintang adalah inspirasi untuk lambang negara Garuda Pancasila.